Menerima Kenyataan
Aku baru mengerti makna kalimat “ada yang lebih menyakitkan dari sebuah kepergian dan kematian. Yaitu kehilangan”. Kepergian dan kematian akan terasa menyakitkan karena adanya rasa memiliki yang berlebihan. Entah rasa memiliki sesuatu atau rasa memiliki seseorang. Rasa memiliki inilah yang pada akhirnya menjelma menjadi rasa kehilangan yang amat menyiksa. Aku merasa mampu melakukan yang terbaik untuk orang tuaku, mampu mengusahakan kebahagiaan untuk mereka. Nyatanya, akulah yang amat terpukul atas kepergian mereka. Akulah yang paling merasa belum melakukan apa-apa untuk mereka. Aku juga yang merasa paling bersalah karena belum memberikan kebahagiaan yang berarti untuk mereka. Bukankah itu perasaan yang buruk? Aku terlalu memaksakan diri sendiri untuk mewujudkan sesuatu yang sebenarnya sudah mereka punya. Orang tuaku sudah bahagia dengan memiliki satu sama lain. Sudah merasa cukup dengan kebersamaan dan saling berdampingan.
Untuk mengobati rasa kehilangan itu aku hanya perlu menerima kenyataan bahwa tidak ada kebersamaan yang abadi di dunia ini. Bahwa tidak selamanya aku akan hidup bersama orang-orang tersayang. Bahwa aku memiliki episode-episode kehidupan yang harus dilanjutkan. Bahwa aku harus lapang menerima setiap scene kehidupan, baik atau buruk. Bahwa aku harus belajar menerima orang baru dalam ruang hidupku.
Menerima kenyataan bukanlah hal yang mudah. Perlu belajar setiap waktu. Sebab belajar tentang penerimaan berarti belajar tentang pendewasaan. Tidak semua orang bisa mengambil pelajaran dari setiap ujian yang ia terima, tidak banyak juga yang bisa menilai kekurangan diri sendiri setelah menerima pelajaran hidup. Oleh karenanya belajar tentang penerimaan ini perlu pengorbanan yang tidak sedikit. Hati, pikiran bahkan fisik bisa saja berubah bila dikorbankan. Seperti ayahku. Pasca kehilangan ibu, kami berdualah yang amat terpukul. Ayah kehilangan seorang istri yang sangat dicintainya. Kehilangan sosok yang selalu mendampinginya. Kehilangan perempuan pekerja keras. Kehilangan wanita yang tiada lelah mengusahakan mimpi-mimpi mereka. Aku tidak pernah melihat ayah bersedih, tapi di hari ketika ibu menutup usia, ayah menangis sejadi-jadinya. Tumpah air mata yang selama ini ia tampung, begitu deras, sekaligus memilukan. Aku sadar bahwa ayahlah yang paling sangat kehilangan ketika itu. Rasa memilikinya amat terlalu dalam.
Aku menyangka kesedihannya akan mereda seiring berjalannya waktu. Tapi rupanya tidak semudah itu. Rindu menjadi penyakit yang menggerogoti jiwa ayah hingga kondisinya makin memburuk. Ingatannya mulai melemah seolah tidak ada ruang lagi bagi kenangan lain selain kenangannya bersama ibu, pendengarannya pun berangsur-angsur berkurang seolah hanya ingin mendengar suara istrinya, penglihatannya semakin kabur, seolah tiada yang ingin ia pandang selain wajah istrinya. Fisiknya mulai kurus seolah ia tidak peduli lagi dengan penampilan, sebab wanita yang menganggapnya paling gagah sudah tidak bisa lagi memandangnya. Betapa kasihannya ayahku. Sosoknya yang kekar dan tangguh bisa bersedih sedemikian dalamnya setelah kehilangan orang yang dicintainya. Yang paling membuatku teriris adalah ketika ayah menangis di pusara ibu dan memakan tanah kuburannya demi meredakan rindu yang sudah memuncak. Kisah cinta ayah sama persis seperti kisah Majnun yang ditinggal oleh Laila, atau kisah Habibi yang kehilangan Ainun. Kisah cinta yang amat dalam dan rindu yang tak berkesudahan.
Namun, aku bangga telah menemani ayah dalam prosesnya menerima kenyataan. Aku bangga kepada ayah karena memilih menjadi lebih tanggung daripada terpuruk berlarut-larut dalam kesedihan. Aku sangat bahagia mendengar setiap cerita demi cerita tentang kisah cinta ayah dan ibu. Ayah tidak pernah bosan, selalu ada cerita baru yang beliau ceritakan ketika kami bersama. Cerita tentang awal pertemuan mereka yang tak terduga. Tentang pernikahan yang tidak pernah terpikirkan. Tentang kehadiranku sebagai pelengkap hidup mereka. Hingga tentang cinta yang akhirnya begitu dalam.
Bercerita adalah salah satu cara ayah menyembuhkan luka. Dan aku berusaha menjadi pendengar yang setia. Aku tidak banyak berkomentar, hanya sesekali menunjukkan wajah antusias dan sedih sebagai suatu respons yang dapat beliau lihat. Sebab sudah tidak ada lagi yang ingin ayah dengar. Ayah hanya ingin mengungkapkan apa-apa yang selama ini belum sempat utarakan, apa-apa yang selama ini beliau pendam. Ayah hanya perlu bercerita agar kenangan indahnya bersama ibu tetap hidup dalam ingatanku juga. Agar kisah mereka tetap abadi dalam benakku meski mereka sudah tiada di dunia ini.
Aku bangga pada ayah. Sebab memilih untuk bangkit tentu bukan hal yang mudah. Tapi ayah berusaha untuk menjalaninya, berusaha bertahan sampai cerita-cerita yang ingin beliau sampaikan habis aku dengarkan. Ayah berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, lebih gagah, lebih kekar dan lebih lapang.
Ayah berusaha menjadi versi terbaiknya dalam memilih cara untuk mencintai ibu. Ayah memilih menerima kenyataan dan yakin bahwa akan ada episode selanjutnya yang akan mempertemukan mereka kembali.
Komentar
Posting Komentar