Rona Cinta di Langit Pusaka

Bagian 1
Catatan-catatanku sebelum kita bertemu

***
Pusaka, Juni 2019
Padahal hanya mendengar namamu, tapi aku sebegitunya terkesima.
Hingga tanpa sadar, aku merawatmu dalam diksi yang menjelma doa-doa.
---
Hai. Kamu baik-baik saja, kan?
Jika saat ini kamu tengah terluka, tengah sakit, tengah terpuruk, ingatlah selalu bahwa Tuhan memberi kita ujian karena kita mampu menghadapinya. Tidaklah masalah itu datang tanpa jalan keluar, tantangan ada pun pasti karena ada penyelesaian. Aku yakin itu. Kamu yakinlah juga, ya.
Meski kalimatku ini mudah sekali untuk diucapkan, nyatanya sangat berat untuk diterapkan. Aku sedang mengalaminya sekarang.
Saat ujian-ujian hidup ini terasa berat, selalu ada celah untuk hatiku mengeluh dan menggerutu. Kenapa harus aku? Kenapa ujianku lebih berat dari orang lain? Dan masih banyak kenapa lainnya yang begitu saja muncul di benakku.
Mengeluh itu manusiawi, kan ya? Hanya saja kita tidak boleh berlebihan mengeluh. Sebab sulit dan mudah bukanlah tergantung dari besar dan kecilnya masalah, melainkan seberapa luas hati kita dalam menerima dan menghadapinya.
Semoga kita diberi hati yang sabarnya seluas samudra, ya.
Oh, ya, bicara tentang hati yang seluas samudra, sepertinya aku sedang berusaha belajar untuk itu. Belajar untuk selalu menerima cerita-cerita tentangmu dari seseorang. Padahal aku tidak pernah meminta untuk diceritakan, tapi begitu saja ada seseorang yang kerap menyebut namamu setiap kali kami bertemu. Ini sudah ke sekian kalinya ia bercerita. Bahkan ketika aku menulis diksi ini, dia baru saja bercerita tentangmu yang tengah sibuk kuliah semester awal.
Kenapa, ya? Kenapa aku harus mengenalmu dari orang lain? Kenapa kita tidak bisa bertemu langsung, berkenalan lalu akrab satu sama lain sebagaimana hubungan orang kebanyakan?
Aku jadi menerka-nerka bagaimana dirimu. Dalam pikiranku, kamu orang yang ramah. Asyik diajak diskusi. Punya banyak teman. Baik dan suka sekali membantu. Tapi orang baik selalu punya kekurangan. Cenderung tidak enakan dan lebih memikirkan kepentingan orang lain dibanding dirinya sendiri. Adakah kamu demikian? Pernyataanku ini tentu akan berubah jika kita bertemu nanti.
Menurutmu mungkinkah kita bertemu? Kalau aku sih, mungkin. Karena segala sesuatu yang telah, sedang dan akan terjadi hanya dikendalikan oleh Tuhan. Kalau aku dan kamu tidak memiliki takdir untuk bertemu, lalu kenapa Tuhan merajut perjalananku hari ini yang harus mendengar tentangmu dari orang lain? Kenapa pula Tuhan membuatku terkesima hanya karena mendengar namamu?
Tentu ini bukanlah sebuah kebetulan.
Hari ini, setelah aku memutuskan menjadikanmu teman, aku juga memutuskan merawat namamu dalam doa-doa yang semoga saja dapat terkabul, kita bisa bertemu.


***

Juli, 2019
Sampai kapanpun hujan akan selalu tentang rindu—juga kamu
---
Bagaimana pagimu kali ini? Adakah diselimuti hujan yang dingin? Atau disambut hangatnya mentari?
Kalau di sini tengah hujan deras. Beberapa hari ini memang lebih sering hujan. Tapi aku tidak bermalas-malasan pergi mengajar, kok. Aku tetap bersemangat karena bahagia bertemu bocah-bocah yang juga antusias memerhatikanku saat mengajar. Cuma ada yang lucu, aku masih belum terbiasa dipanggil “Bu Gulu”. Rasanya aku tua sekali, padahal masih imut dan menggemaskan. Setidaknya untuk saat ini masih imut, tidak tahu beberapa tahun ke depan. Barangkali akan tetap imut? Haha. Oke skip!
Kali ini aku mau menceritakan tentang hal-hal konyol yang aku alami selama di sekolah. Tapi kamu harus janji dulu, jangan tertawa. Ish, dibilangin jangan tertawa! Kalau kamu tertawa duluan, tutup dulu buku ini, lalu tertawalah sepuasmu. Setelahnya, buka lagi buku ini dan fokuslah membaca ceritaku.
Aku mulai dari cerita memakai sepatu yang salah sebelah. Ya Tuhan, pagi itu anak-anak senyam-senyum saat melihatku. Kupikir mereka berbunga-bunga karena melihat diriku yang menggemaskan ini. Tapi ternyata tidak. Mereka terbahak melihat sepatuku yang berbeda warna. Menyebalkannya lagi, mereka sengaja memberitahukan hal itu saat jam pulang. Argh! Aku sebal sekali tapi ujung-ujungnya ikut tertawa juga. Bisa-bisanya aku tidak sadar, astaga!
Tidak cuma itu, aku pernah berkali-kali lupa hari yang menyebabkan aku salah masuk kelas. Sampai-sampai anak-anak protes karena tidak mau belajar mata pelajaranku. Aku yang tidak terima protes mereka, balik mengomeli. Kami beradu mulut di dalam kelas. Ujung-ujungnya akulah yang harus menahan malu dan mengalah karena jelas-jelas salah jadwal. Tolong, aku sepertinya butuh jodoh biar ada yang mengingatkan. Kamu mau tidak jadi jodohku? Eh, lupa kan masih kuliah. Haha.
Terus ya, pernah lupa Tablet yang lagi di-changer di ruang guru saking semangatnya pulang sekolah. Aku panik luar biasa, kupikir hilang entah dimana. Sedang semua naskah dan kerjaanku di sana. Aku tidak bisa membayangkan betapa frustrasinya jika aku benar-benar kehilangan tablet itu. Dan saat mencarinya lagi ke sekolah, Beruntung masih ada guru yang kutemui, aku sujud syukur karena telah menemukannya kembali. Hiks.
 Parahnya juga pernah lupa motor dan pulang jalan kaki. Sampai rumah panik melihat motor tidak terparkir, lama dicari akhirnya baru ingat ternyata tertinggal di parkiran sekolah. Astaghfirullah. Aku sampai menoyor kepalaku sendiri karena bisa-bisanya barang Segede motor dilupain di sekolah.
Ini belum selesai, aku masih punya banyak cerita lagi. Pernah suatu pagi, anak-anak sedang khusyuk berbaris untuk doa pagi. Dengan elegannya aku berjalan menuju kantor. Ketika menaiki tangga berbatu, gak sengaja aku menginjak ujung gamis yang hampir saja membuatku terpeleset. Astaga, anak-anak yang tadinya khusyuk malah tertawa saat melihatku. Aku buru-buru berjalan menuju kantor karena malu dan sebal sendiri! Sudah susah payah untuk elegan malah berujung memalukan. Huh!
Pernah juga aku tidak sengaja menumpahkan sekaleng cat yang mengenai sebagian gamisku. Berputar-putar mencari pensil untuk menulis padahal pensilnya sedang kupegang. Pernah juga sampai menangis mencari ikat rambut padahal akulah yang salah karena lupa menaruh dimana. Huhu.
Sebenarnya aku masih punya banyak cerita-cerita konyol, tapi takut kalau kamu tidak menyukai perempuan ceroboh dan pelupa akut sepertiku ini. Pasti kamu sukanya perempuan yang elegan dan feminim, kan? Ayo ngaku! Kalau memang iya, aku akan belajar untuk menjadi perempuan yang elegan. Aku janji. Meski prosesnya akan lama. Tapi siapa tahu suatu saat nanti jika waktu mentakdirkan kita untuk bertemu, aku sudah berubah menjadi perempuan yang elegan.
Kalau nanti kita bertemu lalu berteman baik, maukah kamu menceritakan hal-hal konyol dan memalukan tentangmu? Yah, gak mau, ya? Aku janji tidak akan tertawa kalau kamu larang. Biar kita sama-sama berbagi cerita. Tak masalah mau cerita konyol, sedih atau pun bahagia, aku tetap ingin mendengarnya.
Semoga saja suatu saat nanti kita dipertemukan, ya. Di saat yang paling tepat dan paling tenang. Seperti tenangnya pagi ini setelah diguyur hujan deras semalaman.

***


Agustus, 2019
Ternyata hujan memang tentang kamu, rindu dan pilu yang menyatu
Aku tersiksa bukan karena jarak dan waktu melainkan mengharapkan sesuatu yang belum pasti bernama temu
---
Hujan. Sebuah kebaikan dan keburukan yang datang bersamaan. Sebuah keindahan yang bercampur dengan kepedihan; menyatu dengan erat tanpa bisa dipisahkan.
Pernahkah kamu setulus hujan dalam mencintai seseorang? Pernahkah kamu rela jatuh berkali-kali demi mendapatkan hatinya? Akupun pernah. Pernah mencintai sendirian, lalu mengubur perasaan itu diam-diam tanpa pernah memberinya kesempatan untuk terungkap. Maaf jika cerita kali ini tentang luka dan pliu. Sebab ternyata hujan memang masih tentang itu, bagiku. Barangkali kenanganku tentang hujan akan berbeda ketika menikmati rintiknya bersamamu.
Seperti hari ini.
Ada yang menari di luar sana. Rintik-rintik dingin yang menjelma kenangan. Rinai yang menjelma rindu. Lalu angin memainkan perannya mengombang-ambing, kacau.
Aku kembali fokus pada buku yang setengah halaman telah kubaca, mengeratkan switer warna kunyit karena dingin yang mulai menyeruak. Betapa moment ini adalah hal paling dilema. Antara berlari membasuh sembilu atau tetap di dalam untuk menjaga rindu.
Aku akhirnya memilih untuk tetap di sini. Memandangi dari balik pintu sembari memikirkan kamu. Betapa nyamannya bila menikmati hujan dengan segelas rindu hangat denganmu. Aku sudah meduga bahwa bisa saja hujan tak akan lagi tentang pilu melainkan tentang kamu. Semoga takdir dan waktu bisa mempertemukan kita.
Bolehkah aku bercerita tentang masa lalu?
Luka-luka itu mengantarkan aku pada diriku yang hari ini lebih tangguh dari sebelumnya. Sakit-sakit itu telah meninggalkan satu kesan yang amat berharga dalam hidupku; bahwa untuk berlapang hati atas semua hal yang terjadi memang perlu proses dan perjuangan yang pahit. Bahwa setiap kisah dalam hidup ini memang begitu, ada tawa dan lukanya.
Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan hanyalah menerima semuanya. Apakah kamu sependapat denganku?
Jika hari ini kamu terluka, terimalah. Jika hari ini kamu jatuh lagi, gagal lagi, nikmati sakitnya. Perlahan waktu akan mengajarimu bahwa penerimaan adalah sebaik-baiknya obat.
Aku yakin dan percaya bahwa apa-apa yang meninggalkan kita bukanlah sesuatu yang baik untuk dipertahankan. Dan akan selalu ada pengganti untuk apa-apa yang kita lepaskan.
Jadi, tak perlu berlarut-larut, ya. Aku pun akan segera bangkit lagi. Agar saat bertemu denganmu aku telah selesai dengan masa laluku. Agar saat dipertemukan denganmu, hatiku telah begitu lapang untuk menerima segalanya kamu.
Tak apa hari ini aku tersiksa karena rindu dan berharap temu yang semu. Barangkali dengan merawat impianku ini, aku bisa merayu Tuhan untuk melukis pertemuan di antara kita.
Selamat menikmati hujan di tahun 2019 ini. Semoga rintik-rintiknya membawa banyak berkah untuk hidupmu.


***

September, 2019.
Malam ini terang sekali, padahal senja tadi begitu deras dengan hujan—kerinduan.
Adakah malammu juga seindah ini?
---
Selamat malam, Kamu.
Bagaimana malammu setelah hujan seharian ini? Entah hujan mana yang tengah menghujanimu, entah langit mana tempatmu berteduh, semoga dingin tak menjadikanmu rapuh, ya.
Kali ini aku ingin kita menyatukan persepsi tentang pertemuan, boleh?
Kalau dua hal telah ditakdirkan untuk bertemu maka tidak ada 7satupun yang bisa menghambatnya, tak ada yang bisa mengaturnya kecuali Yang Punya Kendali. Tidak lambat, tidak juga cepat, tapi waktunya sangat tepat. Seperti hujan yang bertemu tanah, malam yang bertemu bintang, pagi yang bertemu mentari dan hal-hal lain yang dipertemukan.
Kalau hal-hal luar biasa itu saja mudah bagi-Nya untuk mengatur pertemuan mereka, apalagi kita—manusia biasa yang berjalan langsung di atas takdir itu sendiri.
Mari bertemu di waktu yang tepat, ya. Di saat kamu telah menyelesaikan impianmu. Di waktu aku mencapai apa yang aku mau. Lalu kita ukir mimpi selanjutnya yang akan menjadi mimpi kita berdua.
Tak apa kan kalau aku sebegininya menunggumu? Sembari menunggumu datang, aku ingin belajar banyak hal agar kelak kamu bangga memilikiku. Kamu pun belajarlah sepuasnya. Lakukan apapun yang kamu sukai hari ini. Bertemanlah dengan banyak orang. Merdekalah dengan pikiran-pikiranmu yang baik. Agar kelak saat kita ditakdirkan hidup bersama, kita bisa berbagi cerita tentang apa-apa yang sudah kita lewati dan capai dengan susah payah.
Yakinlah tentang satu hal ini. Jika memang kita menjadi rumah bagi satu sama lainnya, maka sesusah apapun jalannya akan tetap dipertemukan. Serumit apapun perjuangan kita, kalau takdir sudah berpihak maka tidak ada yang tidak mungkin. Dan semustahil apapun keinginanku untuk bisa menemukanmu, kalau Tuhan membantuku, maka kita akan tetap bertemu. Jadi biarlah Allah yang mengatur segalanya untuk kita. Pun jika harapanku ini tidak menemui akhir yang baik, aku akan berlapang dada untuk mengikhlaskan semuanya. Bila ternyata aku ditakdirkan dengan seseorang yang bukan dirimu, maka aku akan menghadapinya dengan perasaan yang lega. Karena bisa jadi kita bukanlah yang terbaik bila saling memiliki. Kita harus sama-sama tabah, ya.
Namamu akan tetap kurawat sampai takdir memberikan jawabannya.
Sekarang istirahatlah.
Pejamkan matamu dan lupakanlah hal-hal melelahkan yang terjadi hari ini. Semoga tidurmu lelap dan aku berdoa semoga esok kamu bangun dengan hati yang bahagia.
Selamat malam, ya. Semoga doa-doa yang kurapal untukmu dapat menjadi selimut yang menghangatkan.



***


Oktober, 2019
Pernahkah kamu patah hati?
Pernahkah kamu berusaha melepaskan hal paling berharga yang tidak lagi dapat kamu miliki?
---
Aku yakin, kamu pun pasti pernah mengalami yang namanya terluka. Bahkan mungkin pernah patah hati, kan? Penyebabnya bisa macam-macam. Entah karena cinta, keadaan, teman, perpisahan atau hal-hal yang memang terasa berat saat dijalani. Seperti yang aku alami sekarang.
Pasca kepergian ibu, aku jadi lebih sering melihat ayah murung dan tiba-tiba saja meneteskan air mata. Melihat hal itu membuat hatiku teriris. Itu patah hati paling berat yang aku rasakan. Aku melihat beliau terluka, tapi tidak tahu bagaimana cara menghiburnya. Sebab terlukanya beliau karena kehilangan orang yang sangat dicintai. Seperti Majnun yang kehilangan Laela. Kupikir laki-laki begitu tangguh. Rupanya saat kehilangan wanitanya, ia runtuh dan luruh bersama kepedihan.
Ayah sedang belajar ikhlas menerima keadaan. Beliau barangkali tidak menakuti kehilangan, tapi yang ditakuti adalah hari-hari setelah kehilangan itu. Akankah ia mampu melewati waktu saat orang terkasih tidak lagi dapat digenggam? Mampukah ia membendung rindu saat kehidupan mereka tidak lagi di alam yang sama?
Dari bapak aku belajar satu hal bahwa kalau sudah cinta, ada dan tiadanya orang yang dicintai itu, kita akan tetap cinta.
Jadi, pernahkah kamu mengalami kehilangan? Yang sampai membuatmu sukar untuk bangkit lagi? Apakah kamu takut menghadapi kehilangan?
Kalau aku tidak takut kehilangan. Yang aku takutkan adalah belum bertemu dan memilikimu tapi sudah kehilangan. Izinkan aku memilikimu dahulu, baru aku akan memikirkan cara bagaimana mengahadapi kehilangan itu nanti.
Tapi, aku khawatir bila saat ini kamu tengah mencintai seseorang. Ini khawatir ya, bukan cemburu. Karena dua hal ini berbeda. Aku khawatir bila kamu terluka karena orang yang kamu cintai itu tidak membalas perasaanmu atau tidak begitu perhatian kepadamu. Aku khawatir kamu terluka hanya karena berharap pada manusia yang sebenarnya adalah sumber kecewa. Aku juga khawatir bila saat bertemu denganku nanti, aku tidak punya ruang untuk mengisi hatimu.
Maaf. Kenapa juga aku sebegininya mengkhawatirkan kamu. Mengkhawatirkan hal-hal yang belum sepenuhnya terjadi. Hal-hal yang menambah beban pikiran saja.
Tapi, aku memang kepikiran demikian, bagaimana dong? Tak bisa hilang, tetap saja terlintas meski sudah kutepis berkali-kali.
Entah kenapa melihat bagaimana bapak hari ini membuatku khawatir tentang dirimu juga. Bagaimana kalau kamu begitu terpuruk karena kehilangan seseorang yang sangat berharga bagimu? Bagaimana jika kamu berlarut-larut dalam kesedihan?
Pokoknya jangan sampai merana, ya. Aku tidak mau saat bertemu kamu nanti kamu masih belum selesai dengan masa lalu. Nikmati saja bagaimana hari ini karena akan selalu ada pelajaran di setiap perjalanan.
Btw, belum bertemu kamu saja aku sudah cemburu begini—eum, maksudku--khawatir begini. Sorry, aku bukan wanita pencemburu. Kecuali kalau sudah memilikimu baru tidak akan kuberi ruang bagi siapapun di hatimu selain aku.


***


November, 2019
Aku ingin berterima kasih kepada sakit-sakit yang kerap menghampiri kami
---
Dear, Penyakit.
Terima kasih banyak atas kehadiranmu selama ini. Berkatmu, aku semakin menyadari bahwa hari tua begitu menakutkan. Tapi melihat ayah yang selalu berjuang dalam melawanmu, aku jadi percaya bahwa sakit memang harus dihadapi.
Dear, Sakit.
Terima kasih karena sering menghampiri ayahku. Aku jadi semakin dekat dan lebih sering memperhatikan dirinya dibanding orang lain. Juga, jika kau tak sering datang, aku takkan tahu bahwa beliau begitu tangguh.
Dear, Kesakitan.
Terima kasih telah menguji kesabaran ayah selama ini. Ia tak pernah mengeluh, tak pernah protes. Ia sangat sadar bahwa semuanya memang sudah dikehendaki-Nya. Tak ada yang bisa kami lakukan selain tawakkal setelah beriktiar dan berdoa untuk kesembuhan.
Dear, Air Mata.
Terima kasih untuk jeda yang sering kau tinggalkan untuk aku dan ayah bisa tersenyum dalam bahagia. Tanpamu, kami takkan pernah menghargai sebuah tawa.
Aku tidak akan mengeluh pada kehadiranmu, sungguh. Tidak akan protes pada kedatanganmu. Tapi bisakah kau pergi sejenak sampai hari raya tiba? Aku sungguh tidak tega melihat ayah semakin sakit karena teringat pada kehilangan. Lenyaplah sejenak, pergilah sebentar saja, agar ia bisa menangis dengan raga yang sehat.


***


Desember, 2019
Ajari aku cara merawat mimpi
---
Aku ingin melakukan hal-hal besar untuk mimpiku. Tapi tidak mudah. Karena dipatahkan oleh hal-hal kecil tentang ayah.
Aku menyadarinya.
Aku mungkin punya banyak waktu untuk meraih apapun. Tapi tidak dengan kesempatan bersamanya.
Kelak mungkin aku diberi jalan-jalan yang mudah untuk meraih mimpi, asal hari ini melapangkan hati untuk menemani ayah, menemaninya di saat-saat terpuruk pasca kehilangan ibu tahun lalu.
Akupun amat terluka atas kehilangan ini. Perempuan paling baik dan tulus dalam hidupku kini tak lagi dapat kudekap. Kadang hati kecilku berbisik, kenapa Tuhan begitu cepat memanggilnya? Padahal aku belum melakukan apapun untuk membahagiakannya.
Bisakah kamu mengajariku caranya merawat mimpi? Agar saat-saat terpuruk seperti ini aku tetap punya alasan untuk kembali bangkit.
Tolong beri aku alasan kenapa aku harus berjuang untuk mimpi-mimpiku? Sedangkan kehidupan ayah lebih penting dari mimpiku itu.
Hei, bisakah kamu memberi jawaban? Bisakah sekali saja kita bertemu dan bicara secara langsung? Aku rindu, sangat.


***


Bagaimana langitmu di sana?
Tahu apa yang kulakukan saat hujan datang? Menghitung titik-titik rinai yang jatuh sembari merapalkan doa semoga kelak ada yang mencintaiku sebanyak itu.


***


Suka Jaya, April 2020
Meski sulit, aku tetap memilih untuk merawatmu dalam doa. Urusan terkabul atau tidaknya, itu bukan lagi hal yang ingin kupikirkan. Biar Tuhan saja yang mengaturnya.
---
Aku yakin setiap orang pasti pernah dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Termasuk aku dan juga kamu.
Jika dihadapkan dengan pilihan yang sulit itu, bagaimana caramu menghadapinya? Bagaimana caramu memutuskan dengan yakin hingga berkomitmen akan menghadapi konsekuensi atas pilihanmu?
Aku sangat ingin mendengarkan ceritamu meski ini mustahil jika dipikir-pikir. Tapi kamu tahu betapa hebatnya takdir, kan? Apa-apa yang aku anggap mustahil hari ini bisa saja dikabulkan Tuhan lalu takdir antara kita berdua terjalin pada akhirnya.
Aku pun pernah mengalaminya bahkan hari ini dihadapkan pada pilihan yang sulit antara mau memulai untuk kuliah lagi atau tetap pada aktivitas semula—mengajar sembari menjaga ayah. Studiku yang pertama sudah tidak bisa aku lanjutkan lagi. Selain karena jarak, juga karena aku tidak mampu membiayai diriku sendiri. Tapi alasan terberatku adalah tidak sanggup meninggalkan ayah bersama kakak-kakak yang sudah berkeluarga semuanya. Jika aku memulai kuliah lagi di sini, aku bisa sambil menjaga ayah dan tetap bisa mengajar. Bagaimana menurutmu? Apakah keputusanku untuk memulai pendidikan lagi termasuk yang paling tepat? Kuharap kamu mendukungku dan sepakat kalau ini memang pilihan terbaik yang aku putuskan.
Aku sadar bahwa tidak semua hal harus kucapai dalam waktu singkat. Tidak semua hal bisa kukejar pada saat yang kuinginkan. Jadi, memulai kembali setelah istirahat sejenak itu tidak apa-apa. Seperti kata ayah, aku boleh lelah dan beristirahat tapi tidak boleh berhenti.
Aku akhirnya memutuskan untuk kuliah ulang di awal tahun 2020 ini. Memulai aktivitas baru yang lebih beragam dengan bertemu orang-orang baru, beradaptasi dengan lingkungan baru, dan belajar sesuatu yang baru. Bukankah apa-apa yang baru ditemui dan dirasakan itu begitu berkesan? Sama ketika pertama kali aku mendengar namamu, ada kesan yang amat dalam. Padahal hanya mendengar namamu tapi sudah bisa membuatku sebegini setianya merawatmu dalam angan. Terima kasih, ya, telah mengizinkan aku bercerita meski lewat tulisan yang entah akan kamu baca kapan. Aku pun tak tahu kamu bisa dan mau membacanya atau tidak. Tak apa.
Oh, ya, saat menulis ini di luar sedang hujan. Hujan tahun 2020 ini masih sama istimewanya seperti tahun lalu saat aku memutuskan meraweimamu dalam doa. Kamu tahu kenapa? Rintik-rintik yang berjatuhan itu seperti membawa pesan rindu, sedang derasnya adalah ritme harapan yang begitu berisik digaungkan. Aku masih merindukanmu. Masih berharap agar takdir benar-benar mempertemukan kita kelak.
Ada satu hal yang aku pelajari dari hujan. Ia tak pernah lelah meksi jatuh berkali-kali. Ia pun menghadiahi langit dengan pelangi yang muncul setelah derasnya.
Semoga aku juga bisa setulus hujan. Melindungimu dari terik lalu menghiburmu dengan pelangi.


***


Di ruang paling nyaman—bernama kamar, Mei 2020
Andai saja yang mendekat itu kamu.
---
Hai, bagaimana sepanjang hari ini? Adakah rutinitas yang begitu menyibukkan hingga membuat ragamu begitu lelah? Sini, bersandarlah sebentar pada pundakku jika mau. Tapi syaratnya jadilah milikku lebih dulu. Hihi.
Saat menulis ini, aku tengah diselimuti gundah. Kalau kamu bertanya kenapa, jawabannya karena pernikahan. Tahun ini aku genap berumur 25 tahun. Para kakak sering melayangkan pertanyaan tentang calon suamiku. Padahal mereka jelas-jelas tahu betapa si bungsu ini begitu sibuk mengajar, kuliah ditambah rutinitas menyibukkan di rumah yang harus merawat ayah. Huh, aku kadang sebal sendiri.
Malam-malam sehabis belajar dan hendak tidur, kadang aku jadi memikirkan kapan, ya, aku menikah? Akan menikah dengan siapa aku ini? Atau akankah aku punya jodoh? Bisakah aku hidup bahagia dalam pernikahanku? Atau jangan-jangan kamu adalah jodohku? Aamiin dulu aja, boleh?
Tapi beneran, aku kadang memikirkan hal-hal itu dan bisa jadi badmood seharian karena tidak tahu jawabannya.
Sebenarnya, ada yang menyatakan perasaannya padaku.
Aku mengatakan ini agar kamu tahu kalau aku ada yang suka, jadi bisakah kamu cemburu sedikit saja? Siapa tahu dengan cemburu kamu bisa buru-buru menghampiriku. Aku halu, ya? Memang! Tapi beneran, ada yang menyatakan perasaannya padaku dan ingin serius menjagaku jika aku mau. Tapi bagaimana, ya? Aku masih ingin kamu, eh gak, maksudku aku masih ingin fokus kuliah dan mengajar saja dulu. Lagi pula saat ini tidak mungkin meninggalkan ayah hanya karena ingin punya kehidupan baru. Jadi jangan GR ya, kamu. Aku belum mau menerima orang lain bukan karena kamu, kok. Tapi karena waktunya saja yang kurasa belum tepat. Aku belum siap.
Aku pun masih mengusahakan mimpiku, sama sepertimu yang saat ini pasti sedang sibuk sekali menjalani rutinitas sebagai mahasiswa semester akhir, iya kan? Semoga lancar ya, Senior. Doain juga semoga mahasiswi junior ini bisa merasakan peliknya ujian semester atas. Haha. Semoga kita kuat dan tangguh sebab untuk menjalani kehidupan bermasyarakat yang sesungguhnya nanti, kita akan lebih banyak menemui ujian hidup yang lebih berat. Semoga kita sama-sama menjalani proses belajar ini dengan baik, ya, guna mengumpulkan bekal di masa depan.
Oh ya, kembali ke cerita awal tentang jawaban apa yang harus kuberikan pada dia yang menyatakan perasaannya padaku? Coba beri aku solusi agar tidak lagi gundah seperti ini.
Namun, kalau solusinya adalah aku harus belajar menerimanya, maaf aku tak bisa.
Aku masih ingin merawat namamu sebagai satu-satunya seseorang yang kupinta. Sembari mengusahakan mimpiku yang lain.
Aku ngeyel, ya? Kenapa pula menunggu kamu yang tidak jelas siapa. Hanya bermodalkan namamu, aku sebegininya merawatmu. Ya, mau bagaimana? Aku sudah berusaha untuk abai. Namun, setiap kali aku mulai menorehkan aksara, saat itu juga namamu hadir memenuhi ruang di kepalaku. Segala hal yang ingin kutulis, selalu saja namamu hadir menemaniku.
Kadang aku lelah, kamu tahu? Lelah berharap padamu yang entah bagaimana wujud aslimu. Orang-orang yang bercerita tentangmu pun hari ini tak lagi bercerita, barangkali mereka pun tak tahu harus menceritakan apa lagi tentangmu. Mereka sudah kehabisan topik. Sedang dalam benakku, kamu terus saja berulah, menganggu fokusku bila tengah bermain dengan dunia kata. Huh, dasar menyebalkan.
Pokoknya aku tetap pada keputusanku untuk tetap fokus mengusahakan mimpi-mimpi. Kalau seseorang itu serius dengan perasannya, maka dia akan menerima keputusanku ini. Adapun setelahnya dia masih ingin menunggu atau pergi juga tidak masalah. Aku sedang tidak ingin mengalami rumitnya perasaan. Sudah cukup merasakan rumitnya menunggumu, tak ingin lagi merasakan rumitnya memilih.
Ini bukan berarti aku memilihmu dan menolak dia lho, ya. Aku memilih mimpiku dan memilih merawat ayah dulu.



***



Juni, 2020
Bagaimana ya rasanya ditemani seseorang di hari ulang tahun? Tak masalah bila tak dikasih hadiah atau semacamnya, yang penting di hari lahir ada yang menemani hingga akhir.
---
Kadang kalau sedang mengalami sesuatu, aku jadi tiba-tiba teringat pada kisah-kisah yang pernah aku baca. Bagaimana sebuah hubungan bisa tetap terikat hanya dengan satu modal saja, yaitu kepercayaan. Tapi bisa juga retak dengan berbagai rintangan, salah satunya karena rasa cemburu.
Jadi, jika sampai hari ini aku memutuskan untuk masih menunggumu, itu karena aku masih percaya padamu, masih percaya bahwa doa-doaku akan terkabul. Meski terkadang, rasa cemburu sesekali menyerangku seperti hari ini—di hari ulang tahunku.
Begitu saja aku berpikir kalau-kalau sekarang kamu tengah bersama orang lain, orang yang sedang kamu sukai barangkali. Atau sekarang kamu tengah tertawa dengan seseorang yang telah memenangkan hatimu. Aku begitu saja cemburu oleh pikiranku sendiri yang entah benar atau tidak. Padahal pagi tadi, untuk pertama kalinya, aku memutuskan untuk mencari sosokmu di dunia maya bernama sosial media.
Tidak butuh lama, hanya beberapa detik namamu muncul di browser teratas. Aku mehanan napas sejenak, menyiapkan hati kalau-kalau melihat fotomu bersama wanita lain. Astaga, aku kadang sebal sendiri dengan pikiranku yang seenaknya menuduhmu begini. Namanya juga sedang cemburu, gimana dong? Aku tiba-tiba saja disergap perasaan cemburu yang menyebalkan ini. Apa aku menyukaimu? Tentu saja, kamu sudah kuanggap teman. Sesama teman harus saling menyukai, kan? Hanya saja aku bingung bagaimana memaknai rasa cemburu yang tiba-tiba ini.
Dari rasa cemburu inilah timbul perasaan-perasaan gak enak lainnya. Curiga. Marah. Dendam. Gak terima. Dan masih banyak lagi perasaan yang amat menguras pikiranku akhir-akhir ini.
Aku meng-klik profilmu dan menjelajahi setiap postingan dan foto-foto yang kamu upload. Aku lega, semuanya normal. Tak ada foto khusus yang membuatku cemburu buta. Aku sedikit lega sekaligus terpesona. Sosokmu seindah namamu, ternyata. Hehe.
Meski perasaanku sebegininya kepadamu, aku tetap sadar dan percaya bahwa takdir adalah sesuatu yang tidak akan bisa kulawan. Maksudku, jika besok lusa aku benar-benar tidak bisa bertemu denganmu, tidak bisa memilikimu karena takdir, maka aku selapang mungkin akan menerimanya.
Sebab cinta memang bisa mengalahkan segalanya, kecuali takdir.
Jadi, kalau kelak kamu bukanlah takdirku, maka sedalam apapun aku mengharapkanmu hari ini, kamu tidak akan pernah bisa kumiliki dan temu tidak akan pernah terjadi antara kita.
Sebaliknya, semustahil apapun impianku hari ini untuk bertemu denganmu, kalau takdir merestui dan merajut temu antara kita, maka sesusah apapun jalannya, aku dan kamu akan tetap saling menemukan.
Yang aku katakan ini adalah hubungan dan takdir kita sebagai teman, kok. Aku yakin bahwa perasaanku ini hanyalah sebatas ingin bertemu dan memiliki teman yang kebetulan orangnya adalah kamu.


***


November, 2020
Dunia sedang tak baik-baik saja.
Tapi selama keadaanmu baik—itu sudah cukup menenangkan duniaku yang isinya kebanyakan tentang kamu.
Please, jaga kesehatanmu di sana.
Aku tidak tahu harus bagaimana kalau duniaku kacau balau.
Sudahlah kacau karena rindu, ditambah lagi balau karena temu yang masih semu.
Saat ini, janganlah dekat-dekat dengan orang lain dulu.
Menjauhlah dulu dari keramaian dan jagalah dirimu.



***


Desember, 2020
Isolasi
Kamu boleh mengisolasi diri tapi jangan isolasi hatimu dariku, ya, maksudku bukalah hatimu kelak untuk menjadi temanku jika kita ditakdirkan bertemu.
Kamu boleh menjauh dari keramaian, tapi jangan sekali-kali merasa kesepian.
Covid ini biarlah mengganggu dulu. Pandai-pandailah memetik hikmah dari sebuah kejadian agar hatimu selalu diliputi penerimaan.
Virus ini biarlah menang dulu, tapi jangan sampai mengalahkan hatimu dari keyakinan bahwa hari esok kembali baik-baik saja.
Sabarlah dulu, ya. Tahan diri untuk melihat dunia luar sementara waktu. Simpan dulu rindu untuk bertemu teman-teman. Besok lusa kita akan bisa beraktivitas seperti biasanya lagi.
Sehat-sehatlah di sana. Semoga dirimu selalu dalam lindungan-Nya.
Akupun akan melakukan hal yang sama. Menjalani sepanjang tahun 2020 ini dengan sungguh-sungguh menjaga kesehatan. Agar kelak saat Tuhan masih memberi umur dan sehat, aku bisa bertemu denganmu dalam keadaan terbaik.
Semoga.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bintang-bintang Berkedip

Rona Cinta di Langit Pusaka

Perempuan Masa Kini Harus Berdaya Tinggi