Perempuan Bergelar Inaq
Bab 1
“Adakah keputusan yang paling berat selain keputusan meninggalkan apa-apa yang sudah dibangun, apa-apa yang sudah diusahakan, apa-apa yang sudah diimpikan?
Tidak ada pilihan yang mudah jika itu adalah hal yang tidak ingin dipilih. Sebab akan lebih berat menjalani konsekuensi dari pilihan itu sendiri.
Seperti pilihanku yang harus meninggalkan segalanya.”
***
“Kalau begitu, saya permisi, Kak. Terima kasih atas kesempatan yang sudah diberikan, dan maaf karena saya tidak bisa mengikuti seleksi. Siang ini saya harus berangkat pulang.” Aku menyalami tangan kak Syarifah yang merupakan seniorku di organisasi Himpunan Mahasiswa (HIMMAH) NW. Kami memang beda kampus, tetapi berkat organisasi kami bertemu dan menjadi teman dekat. Dia adalah mahasiswi fakultas Dakwah di IAIH NW Lotim, sementara aku mahasiswi fakultas Pendidikan Bahasa Inggris di UNW. Selain berada di organisasi yang sama, kampus kami juga dekat sehingga memudahkan untuk bertemu dan berdiskusi.
Kak Syarifah merupakan salah satu anggota BEM yang ikut aktif di bidang penyiaran informasi kampus. Dia kerap menjadi penyiar yang mengisi sesi dakwah ringan serta memandu acara diskusi antar mahasiswa yang berkaitan dengan isu-isu yang tengah digandrungi. Karena itulah aku berteman baik dengan kak Syarifah. Aku ingin menjadi penyiar sekaligus menjadi mahasiswi yang penuh dengan pengetahuan seperti dirinya.
Namun, keinginan itu harus kupendam dalam-dalam, setelah kemarin sore aku memutuskan untuk pulang atas permintaan ibu.
Sebenarnya aku belum siap jika harus menjalani rutinitas yang berbeda dari dunia kampus. Rasanya, jalan hidupku mendadak berubah drastis ketika ibu benar-benar memintaku untuk menghentikan semuanya. Berhenti kuliah, berhenti belajar, dan berhenti memimpikan apa pun. Meski tidak mengatakannya secara langsung, ibu seperti berharap kalau aku hanya perlu menemaninya saat ini.
Siang ini adalah siang paling panas dari siang-siang sebelumnya. Matahari serasa berasa berada tepat di atas kepalaku. Tidak hanya membuat badanku mendidih, tetapi juga membuat perasaanku dipenuhi amarah. Ada rasa kecewa yang sulit diungkapkan hingga terpaksa kupendam bersama hingar bingarnya kendaraan yang berlalu lalang. Aku mencoba menekan segala rasa yang berkecamuk sembari sabar menunggu bus menuju pelabuhan. Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya, tetapi riuh klakson yang bising membuatku ragu. Siang hari yang sangat berisik, sampai-sampai aku tidak fokus merenung suara hati sendiri.
“Anaknya pak Halil, kan?” Suara kornet yang khas itu membuatku mengangguk malas. Tas-tas berisi semua barangku diangkat dan diletakkan di bawah kursi yang sudah dipesan ibu sehari sebelumnya. Kali ini ibu tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk menolak pulang.
Aku membuka jendela bus agar angin menyapu pengap di dalam bus. Penumpang hari ini membawa banyak barang hingga membuat sesak, sesesak perasaanku yang semakin tidak karuan.
Ini bukan pertama kalinya aku pulang sendiri, tapi ini kali pertamanya aku pulang tanpa uang bekal sepeser pun. Sejak bulan lalu ibu sudah jarang mengirimiku uang belanja. Entah apa sebabnya. Aku pun sudah tidak enak meminta karena selama ini biaya untuk sekolahku sudah lumayan banyak. Itulah salah satu alasanku melamar pekerjaan di radio kampus yang ditawarkan kak Syarifah. Honornya tidak seberapa, tetapi setidaknya bisa menambah uang saku.
Ah, hari ini benar-benar menyebalkan. Semuanya masih terasa mendadak untuk diputuskan. Aku masih belum bisa, tetapi tidak bisa juga menolak keinginan ibu kali ini.
“Mau sebungkus, Mbak?” tanya seorang penumpang yang ada di sampingku. Aku yang tengah sibuk dengan pikiran sendiri segera menoleh dan menjawab dengan senyum.
“Saya puasa, Mbak. Terima kasih.” Meski alasanku untuk puasa adalah karena tidak punya uang saku di perjalanan, tetapi cukup membantu aku yang mabuk bus.
“Mbak kenapa dari tadi liat keluar jendela terus? Pusingkah?”
“Nggak, Mbak. Saya butuh angin biar nggak pusing.”
“Siapa tahu ini bisa membantu juga, Mbak.” Perempuan baik di sampingku itu menawarkan freshcare berwarna lavender. Aku menolak, tetapi dia memberiku sambil tersenyum tulus.
Perempuan itu bernama Taslimah. Seorang TKW yang baru pulang dari Saudi. Katanya inilah pertama kalinya dia pulang setelah enam tahun bekerja di negeri orang. Dia bercerita bahwa sebenarnya dia ingin sekali menjadi guru dan mengajar anak-anak kecil, tetapi karena keadaan dia tidak bisa melanjutkan impiannya. Hasil dari gajinya sudah bisa membangun rumah dan cukup untuk kebutuhan hidupnya bersama orang tua. Jadi dia berpikir mungkin profesi guru memang bukanlah takdir baginya. Dia memutuskan untuk mencoba profesi baru yang lebih menghasilkan tanpa perlu ijazah.
Taslimah banyak bercerita tentang perubahan pola pikirnya setelah bekerja sebagai TKW. Menurutnya untuk sukses itu ternyata tidak butuh ijazah dan sekolah tinggi. Cukup punya satu kemampuan pun sudah bisa membuat orang sukses. Contohnya dia yang mahir memasak. Menurutnya skill memasak sangat berguna di masa sekarang di mana orang-orang mulai berlomba-lomba membangun bisnis makanan. Menjadi pengusaha tentu lebih menguntungkan daripada menjadi guru yang honornya tidak seberapa.
Benar. Apa yang dikatakan oleh Taslimah memang benar adanya. Pengusaha bisa menghasilkan banyak uang dalam sehari, berbeda dengan guru yang barangkali tidak seberapa. Untuk sukses pun tidak butuh ijazah dan pendidikan juga benar. Tetapi, ada hal yang aku tidak sependapat dengan Taslimah. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengelola bisnisnya tanpa pendidikan yang memadai? Minimal orang yang ingin membangun usaha tentu harus belajar dulu cara mengelola keuangan. Meski orang-orang sukses di luar sana ada yang tidak berpendidikan tinggi bahkan tidak punya ijazah sekali pun, tetap saja dia butuh orang-orang berpengetahuan untuk membantunya mengolah usaha. Sementara yang berperan mendidik orang-orang berpengetahuan itu adalah guru. Guru adalah profesi tertinggi dari semua profesi sukses di dunia ini. Guru tidak serta merta harus punya ijazah, selama seseorang itu mengajari hal baru maka dia patut disebut guru.
Keputusan Taslimah untuk berhenti mengejar mimpinya tentu adalah mutlak keputusannya sendiri. Sebab kadang keadaanlah yang memaksa seseorang untuk memilih. Sama seperti keadaanku saat ini. Aku sama sekali belum tahu sesuatu apa yang menantiku ke depannya. Barangkali kali akan sama seperti Taslimah atau justru sebaliknya. Bapak dan ibu pernah berkata bahwa mereka berharap aku bisa menjadi guru. Tetapi, keinginanku hanya belajar saja dulu. Kalau pun kelak akan menjadi orang, semoga aku bisa menjadi orang yang bermanfaat yang bisa berbuat untuk kebaikan sekitar dengan kemampuan yang aku punya, entah menjadi guru atau apa pun selama itu bisa berguna, akan aku jalani.
Aku ingat betul awal mula aku menyukai dunia pendidikan. Dulu, ketika belum masuk sekolah, bapak sering mengajariku membaca dengan menggunakan media sampul kertas rokok merek telepon. Sehabis merokok biasanya bapak akan menyerahkan sampul sambil mengajariku membacanya berkali-kali hingga aku sangat hafal betul setiap hurufnya. Setelah fasih membaca sampul kertas rokok, barulah bapak mengajariku membaca bungkus snack yang kami beli. Begitu seterusnya hingga aku bisa membaca dan menulis ketika sudah masuk Madrasah Ibtidaiyah. Karena awal yang baik itulah aku bersikeras untuk melanjutkan pendidikan hingga hari ini.
***
Angin berembus sepoi-sepoi membelai jilbabku yang sedikit kusut, memberikan sedikit kelegaan setelah turun dari bus. Laut yang biru juga tampak tenang, seolah memberi isyarat bahwa perjalanan pulang kali ini sebenarnya menyenangkan. Aku memilih duduk di lantai atas setelah menolak ajakan Taslimah untuk tidur di lantai dua tadi. Aku tidak mengantuk, hanya saja lelah dan melihat lautan luas dari sini lebih menenangkan.
Aku membuka tas untuk mencari secarik kertas yang sedikit lusuh akibat terlalu sering dibaca. Selembar kertas yang selalu membuatku bahagia. Sehelai kertas yang diberikan seseorang tiga tahun lalu. Isinya masih saja menjadi bacaan favorit di saat-saat gundah seperti sekarang. Surat pertama yang aku terima dari seseorang yang telah mengatakan rahasia jiwanya. Dalam surat ini tertulis jelas namaku dengan tulisan indah.
Anjani, 16 Desember 2012
Teruntuk, Haisha Noor Fatimah
Tiada kalimat pembuka yang patut kutulis selain memohon semoga Yang Maha Cinta senantiasa melimpahkan kasih sayangnya kepadamu. Semoga Yang Maha Pelindung selalu menyertai setiap langkah dan keputusanmu. Aku pun berharap demikian. Sebab mengirimimu sehelai kertas ini adalah keputusan yang cukup berat. Aku harus memberanikan diri untuk mengatakan rahasia jiwa yang seharusnya hanya aku dan Allah yang tahu.
Aku pikir selepas pertemuan pertama kita dalam kajian ilmu Ta’lim setahun lalu, tidak akan ada hal yang berkesan. Kukira itu memang pertemuan wajar yang seharusnya terlewati dengan biasa saja. Tetapi, Haisha, ternyata setelahnya aku malah selalu memikirkanmu. Semakin aku menyibukkan diri, semakin ingin bertemu denganmu. Tanpa sadar aku telah berharap akan ada pertemuan selanjutnya agar kerinduanku kepadamu dapat terobati.
Maafkan aku, Haisha, aku tidak bisa menjadi Ali yang begitu cerdik menyimpan perasaannya kepada Fatimah. Aku hanya lelaki biasa yang banyak dosa dan kekhilafannya.
Haisha, semoga Allah mengampuniku karena tidak bisa lagi menyimpan perasaan ini terlalu lama. Aku pun telah meminta petunjuk kepada-Nya agar ditunjukkan jalan yang benar. Dan inilah jalan yang akhirnya aku putuskan. Aku ingin mengatakan bahwa aku ingin kau menjadi satu-satunya muara untuk rasaku berpulang. Aku ingin kau menjadi jalanku menuju ridho-Nya. Jadilah teman hidupku dan bersama-sama kita menapaki setiap konsekuensi atas pilihan-pilihan kita di masa depan.
Kau tidak harus menjawab surat ini sekarang, kapan pun kau mau, insya Allah semoga Allah meneguhkan hatiku untuk menunggu. Sembari menunggu akhir yang masih misterius, kau teruslah semangat menyelesaikan study dan gapai apa yang kau ingin. Aku pun akan mengusahakan impianku.
Haisha, aku tahu perjalanan kita masih panjang. Masih banyak hal yang harus kita lakukan untuk hidup ini. Percayalah, keputusanku untuk mengatakan rahasia ini hanya ingin kau tahu bahwa ada seseorang yang berdoa untuk kebaikanmu.
Jika kelak kau menemui badai dalam perjalananmu, bacalah suratku. Aku akan menyematkan satu obat yang akan selalu bisa menghapus risaumu.
“Kau mampu, makanya Allah memberikan jalan ini untuk kau tempuh. Percayalah, tidak ada pilihan yang berat selama kita yakin bahwa Allah telah menyiapkan hal terbaik di masa depan. Yakinlah, Haisha.”
Dariku, Muzan Umair
Aku melipat kembali surat itu dan menarik napas dalam-dalam seperti yang biasa kulakukan usai membacanya. Ada ketenangan tersendiri setelah membaca kalimat terakhir dari surat kak Muzan. Seperti mendapat semangat dan keyakinan kembali untuk menjalani pilihan hidup yang sudah kuputuskan. Termasuk keputusan untuk tidak menjawab surat kak Muzan sampai detik ini.
Rasanya aku belum pantas untuk membalasnya. Satu-satunya jawaban yang ingin kutulis adalah aku menerima permintaannya menjadi muara atas segala perasannya. Aku ingin mengatakan bahwa aku pun ingin dia menjadi satu-satunya pundak tempatku bersandar. Tetapi, aku cukup tahu diri. Selain karena merasa diri belum pantas, aku pun belum bisa menuntaskan study seperti yang dia harapkan.
Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kak Muzan sebagai mana dia berharap kebaikan untukku.
Pulau Seribu Masjid sudah hilang sepenuhnya, tetapi di dalam mataku hanya terlihat kenangan-kenangan indah saat menimba ilmu. Baru saja kapal bersandar di pelabuhan Poto Tano, tiba-tiba bening berjatuhan begitu saja seperti hujan deras yang tidak sabar bertemu bumi. Perasaanku perih seperti baru saja kehilangan sesuatu yang amat berharga. Bus melaju meninggalkan pelabuhan sepenuhnya, membawa luka-luka baru yang entah akan sembuh kapan. Langit yang tampak mendung siap menjatuhkan tangisannya, mengiringi kepulanganku kali ini.
Aku mengusap pipiku yang basah ketika merasakan getaran Hp di tas. Buru-buru aku menjawab telepon dari ibu.
“Sudah sampai mana, Nak?” tanya ibu langsung seusai mengucap salam.
“Sudah lewat pelabuhan, Buk. Ini sudah di bus lagi.”
“Syukurlah. Sudah makan?”
Aku lama terdiam, memikirkan harus menjawab apa.
“Maafkan ibu, ya, Nak. Ibu nggak bisa kasih uang belanja. Ini ibu cuma pegang uang ongkosmu.” Seperti biasa suara ibu terdengar sedih. Perasaan yang tadinya kesal berubah menjadi rasa iba. Betapa aku telah menyusahkan ibu.
“Nggak kok, Buk. Lagian aku puasa. Insya Allah nanti berbuka di warung Asri,” jawabku berharap bisa membuat ibu tenang.
“Sekali lagi maafkan ibu ya, Nak.”
Hanya itu yang ibu ucapkan lalu kami terdiam begitu lama. Seperti hanya hati kami yang berbicara. Katanya seorang ibu memiliki ikatan batin dengan anaknya. Dan sekarang aku merasa ibu tengah bersedih karena tahu anaknya puasa karena tidak punya bekal sepeser pun.
“Allah Maha Baik, Buk. Asal kita yakin, pasti ada rezekinya nanti. Ibu nggak usah khawatir, ya. Insya Allah aku baik-baik aja.”
Percakapan kami berakhir karena sepertinya ibu tidak tahan menahan isak. Aku kembali memasukkan Hp dan kembali menatap luar jendela. Bukankah Allah Maha Luas? Sesempit apa pun kita hari ini, Allah pasti meluaskan rezeki untuk hamba-Nya yang yakin.
“Nanti buka puasanya saya yang teraktir, ya, Mbak,” ucap Taslimah menawarkan. Sepertinya mendengar percakapanku dengan ibu tadi.
“Terima kasih sebelumnya, Mbak. Saya ada bekal kok.”
“Ah, nggak usah gitu. Anggap aja sebagai perayaan atas perkenalkan kita hari ini. Oke?”
Aku hanya tersenyum menjawab tawaran Taslimah. Allah benar-benar baik, ya. Baru saja aku memuji kebesaran-Nya, Dia langsung menunjukkan kuasa-Nya.
Sudah hampir magrib ketika kami baru sampai di warung Asri, tempat pemberhentian sebentar sebelum melanjutkan perjalanan lagi. Banyak penumpang yang memilih makan dan istirahat di lesehan, sedangkan memilih naik ke lantai dua untuk shalat.
Sebelum wudhu, aku membatalkan puasa dengan minum sepuasnya. Haus dan lapar akhirnya bisa terobati cukup dengan minum. Semoga saja aku bisa tahan sampai rumah nanti. Shalat kali ini aku ingin meminta kemurahan hati Allah untuk melapangkan hati dalam menjalani setiap rencana-Nya. Aku juga memohon semoga Allah kuatkan batinku untuk menerima segala yang akan berlaku di rumah nanti. Dan semoga Allah menjauhkan aku dari prasangka buruk atas apa-apa yang belum aku ketahui.
Seusai shalat aku langsung masuk bus dan melanjutkan membaca Al-Qur’an. Sementara penumpang lain sibuk dengan kegiatan masing-masing termasuk Taslimah yang sedang menyantap makanan seorang diri. Sepertinya dia mencariku, terlihat dari sikapnya yang menoleh kiri kanan seperti mencari seseorang. Selain segan menghampiri, aku juga sudah kenyang. Badan terasa lebih segar setelah berbuka.
Tok, tok! Terdengar suara kaca jendela diketok dari luar. Segera aku membuka jendela.
“Iya, kenapa, Kak?” tanyaku pada kornet yang masih berdiri di depan jendela.
“Ayo temani saya makan. Saya sudah pesan makanan untuk dua orang. Bantu saya menghabiskan.”
“M-maaf, Kak....”
“Sudah, ayo cepatan turun. Tolong temani saya agar makannya nggak mubazir. Nggak baik juga lho menolak rezeki.”
Karena tidak enak, akhirnya aku menerima tawaran itu. Taslimah yang masih di meja makan tampak tersenyum ketika melihat aku masuk. Aku memintanya menemani aku untuk makan bersama kornet bus. Tanpa penolakan dia langsung mengangkat makannya ke meja yang sama denganku. Syukurlah Taslimah tidak membahas tentang penolakanku terhadap tawarannya.
“Makan ya banyak, Kak. Setelah ini nanti jangan masuk bus dulu. Saya sudah belikan makanan ringan, tinggal saya ambilkan setelah makan.”
Aku hanya tersenyum mengangguk tidak enak. Allah sudah berkali-kali menunjukkan belas kasih-Nya kepadaku hari ini. Alhamdulillah. Tawaran Taslimah yang aku tolak halus, Allah datangkan lagi tawaran lain melalui kornet bus yang baik hati.
“Terima kasih banyak, ya. Tapi Mas nggak perlu repot-repot. Ini sudah lebih dari cukup.” Aku mencoba menolak dengan halus.
“Harus diterima. Jangan sungkan, Kak. Nanti saya dimarahi bibi saya karena nggak baik sama temannya.”
“Bibi? Siapa namanya?” tanyaku penasaran. Pasalnya aku tidak mengenal siapa kornet ini.
“Bibi Rahma. Kenal, kan?”
Aku mengangguk cepat. Rahma adalah teman seangkatanku ketika SMP dulu.
“Kok bisa kenal saya?” Aku bertanya ingin lebih tahu.
“Kenal, dong. Kita kan pernah ketemu sekali waktu hultah pesantrennya bibi Rahma. Dan Kakak hadir juga, kan. Jadi aku tahu Kakak sejak saat itu karena Bibi sering cerita soal Kakak. Dia juga sering mengupload foto kebersamaan kalian di Facebook. Jadi sejak Kakak naik bus tadi aku sudah tahu.”
Aku bengong mendengar cerita detail itu. Tidak menyangka ada seseorang yang masih mengingatku padahal baru sekali bertemu. Itu pun aku tidak ingat apakah melihatnya pada pertemuan pertama kami. Huh, dasar si Rahma, harusnya dia izin kepadaku kalau mau bercerita tentangku pada orang lain. Tetapi, aku sangat bersyukur sekali karena berkat punya teman yang baik, akhirnya bisa bertemu dengan lelaki baik yang sedang menyantap makanannya dengan lahap di depanku.
“Oh, iya, sebenarnya aku bukan kornet, Kak.”
Mataku membelalak terkejut.
“Lho, beneran? Maaf. Kupikir kornet.”
Taslimah yang lebih dulu tertawa, disusul oleh laki-laki itu.
“Aku penumpang kok. Tapi karena nggak dapat kursi, jadi ya terpaksa berdiri dari tadi kayak kornet,” katanya tersenyum lebar.
Aku meminta maaf berkali-kali karena telah salah menilai. Padahal penampilannya memang berbeda dari penampilan kornet-kornet yang lain. Ah, dasar aku, harusnya tidak menilai seseorang kalau belum tahu yang sebenarnya.
“Nggak apa-apa, Kak. Abdi maafkan.”
Lelaki bernama Abdi itu menyebut namanya dengan bangga sebelum aku bertanya. Aku sangat berterima kasih kepada Abdi dan juga Taslimah untuk malam ini. Berkat mereka aku melupakan sejenak kesedihan yang tadi bersarang di pikiran.
Komentar
Posting Komentar